Indonesia butuh Konseling Realitas  

Diposting oleh bkuny

Indonesia Butuh Terapi Realitas

Oleh Limas Sutanto

TAHUN lalu, di tengah tebaran janji-janji memikat, rakyat mengganti pemimpin
puncak pemerintahan lewat pemilu. Peristiwa penting itu bisa disyukuri sebagai
bagian gerak maju demokratisasi Indonesia. Namun, salah satu kekuatan
impersonal terpenting yang menggerakkan pemenangan dalam pemilu tahun lalu
adalah deret pencitraan yang dihias janji-janji, yang intinya adalah perwujudan
keadilan dan kesejahteraan. Tak pelak, rakyat beramai-ramai menagih perwujudan
janji-janji itu.

Namun, yang terjadi justru perontokan ilusi-ilusi (disillusionment) karena
tebaran janji-janji tak kunjung terwujud. Yang terjadi justru kebijakan
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berdampak bagi warga miskin.
Demonstrasi antikenaikan harga BBM masih terus merebak, ditimpali warta krisis
pangan dan ancaman kelaparan di Lembata, Nusa Tenggara Timur (Kompas, 19-20/3).

Warta itu diperburuk kabar dari Garut bahwa keberlanjutan sekolah anak-anak
keluarga miskin terancam karena orangtua mereka tidak sanggup menyediakan biaya
transportasi, sementara dana kompensasi kenaikan harga BBM tidak kunjung turun
(Kompas, 21/3). Semua fakta ini menegaskan, bangsa Indonesia masih bergelut
dengan masalah fundamental yang berpusatkan pemenuhan kebutuhan kemanusiaan
mendasar.

Ironis. Pada saat bersamaan elite pemimpin Indonesia justru terus melawan gerak
maju menuju keadilan dan kesejahteraan nyata dan sejati. Gejala-gejalanya
adalah pemberantasan korupsi yang tersendat, bahkan akhir-akhir ini menunjukkan
gejala-gejala (symptoms) menggumpal lebih besar dan lebih nyata dalam
kolaborasi kekuasaan pemerintahan-kekuasaan politis-kekuasaan uang.

Konglomerasi (penggumpalan) ketiga kekuasaan itu terwujud dalam kolaborasi
pemerintah, elite partai politik (ulahnya terlihat jelas di DPR), dan elite
bisnis. Siapa pun bisa mengatakan, konglomerasi dan kolaborasi ketiga kekuatan
itu "sah saja". Namun, masalahnya adalah siapa bisa menjamin penggumpalan
ketiga kekuatan itu akan mengabdi buat kepentingan seluruh rakyat Indonesia?
Atau dengan kata lain, siapa bisa menjamin penggumpalan ketiga kekuatan itu
bukan merupakan gejala resistansi terhadap gerak maju hakiki menuju keadilan
dan kesejahteraan yang nyata dan sejati?

KETIGA gejala resistansi-ketersendatan pemberantasan korupsi, masih terus
berlangsungnya korupsi, penggumpalan kekuasaan pemerintahan-kekuasaan
politis-kekuasaan uang-sebenarnya berakar dalam psikopatologi (kesalahan jiwani
mendasar) yang terkait masalah pemenuhan aneka kebutuhan manusia. Psikopatologi
itu bisa dideskripsikan sebagai "pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia yang
berlangsung nonrealistik dan tanpa penunaian tanggung jawab".

Dalam perebakan psikopatologi itu, kebutuhan-kebutuhan manusia, seperti
kebutuhan akan kepemilikan bendawi, kebutuhan untuk meraih kekuasaan, dan
kebutuhan akan kesenangan, berperan sentral. Pada perspektif ini dapat dipahami
betapa akar psikopatologis dari penerusan korupsi, perlawanan terhadap
pemberantasan korupsi, dan penggumpalan kekuasaan pemerintahan-kekuasaan
politis-kekuasaan uang, adalah pemenuhan abeja kebutuhan manusia yang
berlangsung nonrealistik dan tanpa penunaian tanggung jawab.

Gagasan perbuatan dan perilaku manusia yang hakikatnya merupakan proses
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ditegaskan psikiater Amerika, William Glasser,
yang lebih dikenal sebagai pelopor terapi realitas (reality therapy). Glasser
memahami tiap gejala psikopatologis sebagai upaya manusia untuk memenuhi aneka
kebutuhannya secara nonrealistik dan tanpa penunaian tanggung jawab.

Persoalan pokok pada perspektif ini terkait dengan jalan atau cara yang
ditempuh manusia guna memenuhi aneka kebutuhan itu. Pemenuhan kebutuhan itu
akan melahirkan psikopatologi atau gejala-gejala psikopatologis jika ia
berlangsung secara nonrealistik dan tanpa penunaian tanggung jawab.

Terapi realitas dilaksanakan untuk membantu manusia kembali ke jalan pemenuhan
kebutuhan yang benar dan efektif, yaitu pemenuhan kebutuhan secara realistik
dengan penunaian tanggung jawab.

INDONESIA yang dilumuri gejala-gejala resistansi terhadap gerak menuju keadilan
dan kesejahteraan nyata dan sejati adalah Indonesia yang banyak dikerubungi
manusia yang terbiasa memenuhi aneka kebutuhannya secara nonrealistik dan tanpa
penunaian tanggung jawab. Pada titik ini dapat disadari betapa Indonesia butuh
terapi realitas, yang secara kontekstual bermakna perombakan cara atau jalan
yang ditempuh para pemimpin pemerintahan dan tiap insan Indonesia untuk
memenuhi aneka kebutuhannya, dari cara atau jalan yang nonrealistik dan tanpa
penunaian tanggung jawab, menjadi cara atau jalan yang realistik dengan
penunaian tanggung jawab.

TERAPI realitas bisa dijalankan dengan mengejawantahkan tiga hal. Pertama,
keputusan pribadi tiap pemimpin pemerintahan Indonesia untuk menerapkan
standar-standar kebaikan (patokan nilai-nilai) yang tinggi demi perawatan dan
penumbuhkembangan keberhargaan diri (self-worth) yang bermakna. Standar
kebaikan yang tinggi dan keberhargaan diri yang bermakna niscaya menjadi
komponen hakiki kepribadian setiap pemimpin pemerintahan Indonesia.

Dapat dirasakan betapa selama ini keberadaan kedua komponen hakiki itu
sedemikian lemah, bahkan mungkin standar kebaikan dan keberhargaan diri belum
menjadi komponen penting kepribadian insan-insan pemimpin pemerintahan
Indonesia.

Banyaknya pelanggaran hukum-moral-etika, pelanggaran berat hak asasi manusia,
serta pembiaran pelanggaran-pelanggaran itu, yang semuanya berlangsung seperti
tanpa rasa dosa, mengindikasikan standar kebaikan dan keberhargaan diri belum
menjadi komponen penting kepribadian insan-insan pemimpin pemerintahan
Indonesia.

Standar kebaikan yang tinggi dan keberhargaan diri juga menjamin evaluasi diri
yang terus-menerus di tengah kehidupan setiap pemimpin pemerintahan dari hari
ke hari. Tanpa standar kebaikan tinggi dan keberhargaan diri, evaluasi diri
tidak pernah berlangsung. Maka gerak maju tidak pernah terjadi dalam kerangka
kerja yang sadar.

Kedua, keterlibatan mendalam (deep involvement) tiap pemimpin pemerintahan
dengan kehidupan nyata seluruh rakyat Indonesia. Keterlibatan ini niscaya demi
pemahaman realitas kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Tanpa pemahaman utuh
realitas kehidupan seluruh rakyat Indonesia, pemimpin pemerintahan tidak pernah
bisa mengejawantahkan perbuatan dan perilaku kepemimpinan yang realistik dan
bertanggung jawab. Seandainya para pemimpin masa kini hidup di tengah
keterlibatan mendalam dengan kehidupan rakyat Indonesia, dapat dibayangkan para
pemimpin pemerintahan tidak akan menelorkan kebijakan menaikkan harga BBM saat
kehidupan rakyat masih sulit dan anggota DPR tidak akan meminta tambahan honor.

Ketiga, disiplin, yang makna sejatinya adalah keberanian, kerelaan, dan
kesudian manusia menerima realitas yang bersifat tidak menyenangkan, asalkan
realitas yang tidak menyenangkan itu terjadi karena dirinya mempertahankan
standar kebaikan yang tinggi dan keberhargaan diri yang bermakna. Berbekal
disiplin dalam makna itu, para pemimpin pemerintahan tidak akan menghalalkan
segala cara dalam upaya mewujudkan aneka keinginan atau sejumlah kebutuhan.

Berbekal disiplin dalam makna itu, pemimpin pemerintahan berani dan bisa
menindak tegas setiap pelaku tindakan yang salah, semisal pelaku korupsi,
kendati pelaku korupsi itu adalah kawan dekatnya, bahkan anggota keluarganya
sendiri.

Bagaimanapun pengejawantahan ketiga hal hakiki itu perlu dipelopori para
pemimpin pemerintahan. Kepeloporan mereka merupakan keniscayaan untuk
berlangsungnya terapi atas resistansi Indonesia terhadap gerak maju menuju
keadilan dan kesejahteraan nyata dan sejati. Terapi itu sudah menjadi
sedemikian niscaya karena rakyat yang telah banyak ditebari janji-janji
keadilan dan kesejahteraan telah memasuki tahapan kekecewaan yang nyata
(disillusionment).

Jika disillusionment tidak segera diterapi, rakyat akan menjadi apatis, lalu
pada saatnya menjadi hamparan insan yang sulit percaya. Di tengah
ketidakpercayaan, Indonesia akan terguncang bahkan mengalami regresi atau
kemunduran. Hal itu akan mengerikan sekali.

Limas Sutanto Psikiater, Kini Studi Pascasarjana Konseling, Bertempat Tinggal
di Malang

Penerapan Pengukuh Positif dan Negatif  

Diposting oleh bkuny

BAB I

PENDAHULUAN

Belajar merupakan masalah setiap orang, sehingga belajar merupakan istilah yang biasa didengar oleh telinga kita. Dimyati Mahmud (1989:121-122) menyatakan bahwa belajar adalah suatu perubahan tingkah laku, baik yang dapat diamati maupun tidak dapat diamati secara langsung, dan terjadi dalam diri seseorang karena pengalaman.

Dalam belajar terdapat perubahan tingkah laku yang meliputi kogmitif, afektif, psikomotorik, dan campuran dan belajar merupakan suatu proses usaha, hasil belajar yang berupa tigkah laku kadang-kadang dapat diamati tetapi proses belajar itu sendiri tidak dapat diamati secara langsung.Proses belajar tidak dapat berjalan dengan lancar tanpa memperhatikan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Salah satu teknik penerapan prinsip belajar yang cukup efektif adalah meningkatkan dan memelihara perilaku/tingkah laku.

Teknik terbaik bagi peningkatan dan pemeliharaan perilaku ialah penerapan prosedur pengukuhan positif dan pengukuhan negatif.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengukuhan Positif

1) Pengertian Pengukuhan Positif

Pengukuhan positif (positif reinforcement) terjadi apabila suatu stimulus (benda/kejadian) dihadirkan/terjadi sebagai akibat/konsekuensi dari suatu perilaku dan bila karenanya keseringan munculnya perilaku tersebut meningkat/terpelihara. Misalnya, seorang pengemis datang meminta-minta, kita memberinya seribu rupiah. Maka pengemis ini esok akan datang kembali kepada kita.

Stimulus yang terjadi/dihadirkan mengikuti/menjadi konsekuensi perilaku dan menyebabkan perilaku berulang/terpelihara, hal itulah yang disebut pengukuh positif (positif reinforcer) uang, makanan, dan lain sebagainya disebut pengukuh positif apabila penyajiannya meningkatkan kemungkinan berulangnya suatu perilaku.

Dalam penerapan mosifikasi perilaku pengukuh tidak dibiarkan terjadi secara alamiah (natural consequence) tetapi diatur sedemikian rupa agar menjadi konsekuensi tindakan/perilaku yang ingin ditingkatkan atau dipelihara.

2) Penerapan Efektif Pengukuhan Positif

Agar pengukuhan positif dapat dilakukan secara efektif, perlu diperhatikan beberapa syarat:

a. Menyajikan Pengukuh Seketika

Penyajian pengukuhan seketika setelah tindakan/perilaku berlangsung lebih efektif daripada penyajian tertunda. Salah satu alasan utamanya adalah perilaku tadi belum disisipi oleh perilaku lain pada saat mendapatkan pengukuh. Akibatnya efek pengukuh tidak terbagi dengan perilaku lain dan orang mengetahui perilaku yang dikukuhkan.

Dalam beberapa hal pengukuh yang tertunda tetap dapat tetap efektif. Bagi orang dewasa normal yang tidak terlalu bodoh, toleransi terhadap penundaan pengukuh telah berkembang. Efektifitas penundan ini disebabkan dijembatani dengan isyarat atau janji bahwa pengukuh akan menyusul kemudian. Dan pada anak-anak isyarat ini dapat dibuat konkrit dengan menggunakan pengukuh kepingan.

b. Memilih Pengukuh Yang Tepat

Tidak semua imbalan menjadi pengukuh yang positif. Orang juga mengira bahwa stimulus yang memenuhi kebutuhan fisioligis (makanan, istirahat, air, seks, dll) adalah pengukuh yang efektif. Hal ini tidak sepenuhnya benar, banyak variabel yang berpengaruh. Oleh karena itu, pengukuh yang dipilih harus terbukti efektif bagi subyek tertentu dalam situasi tertentu.

1. Makanan sebagai Pengukuh

2. Benda sebagai Pengukuh

3. Benda yang dapat ditukar sebagai Pengukuh

4. Aktivitas atau acara sebagai Pengukuh

5. Tindakan sosial sebagai Pengukuh

c. Mengatur Kondisi Situasional

Tidak semua perilaku perlu diulang setiap waktu. Banyak perilaku yang telah dibentuk, dipelihara, atau ditingkatkan, hanya cocok dilaksanakan pada kondisi situasional. Agar perilaku yang mendapat pengukuhan berulang pada saat dan tempet yang tepat, perlu diatur kondisi situasional pemberian pengukuh. Bila yang diharapkan perilaku yang diskriminatif (ialah yang membedakan waktu dan tempat), maka pengukuhan diberikan pada tempat/saat yang diinginkan.

Misalnya, Lia mendapat pengukuh berupa pakaian boneka bila ia siap pukul 06.30 dan bila hari itu bukan hari libur. Agar kondisi situasional ini efektif, maka perlu didukung oleh komunikasi yang jelas dan subyek diminta untuk memperhatikan kondisi situasional ini.

d. Menentukan Kuantitas Pengukuh

Keputusan mengenai kuantitas pengukuh ialah banyaknya pengukuh yang akan diberikan setiap kali, tergantung pada beberapa pertimbangan. Misalnya pertimbangan macam pengukuh dan keadaan deprivasinya serta pertimbangan usaha yang harus dilakukan untuk mendapatkan satu kali pengukuhan.

Mengingat adanya kejenuhan/kekenyangan apabila yang digunakan adalah makanan, maka perlu dicoba dan diamati efeknya. Berapa lama tidak makan sebelumnya, dan berapa banyak makanan dengan kuantitas tersebut masih tetap efektif harus dicobakan.

Bila menggunakan pengukuh sosial, deprivasi (berapa lama pengukuh tidak diperoleh) dan kejenuhan karena pengukuhan ini, tidak menimbulkan masalah. Senyum atau ucapan “terima kasih, ya” tetap dapat efektif meskipun diperoleh berulang-ulang.

Menggunakan pengukuh isyarat,perlu memperhatikan jumlah yang harus diperoleh untuk dapat digantikan dengan mengukuh idaman. Bila jumlah tidak mungkin terjangkau maka pengukuhan ini tidak efektif.demikian juga dengan penggunaan pengukuh bersyarat juga harus diikuti pengukuh tak bersyarat. Kejenuhan akan timbul jika pengukuh bersyarat diberikan terlalu banyak dibandingkan pengukuh tak bersyarat.

e. Memilih Kualitas/Kebaruan Pengukuh

Apabila dibanding-bandingkan, orang lebih menyukai sesuatu yang berkualitas tinggi atau sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru cenderung menghilangkan kebosanan segingga dapat menjadi pengukuh yang kuat. Sebaliknya, sesuatu yang baru juga dapat menimbulkan keraguan atau ketakutan sehingga tidak efektif sebagai pengukuh. Kualitas pengukuh yang tidak sesuai dengan harapan penerima menyebabkan efektifitasnya menuruun, bahkan tidak efektif sama sekali.

Pengukuh sosial juga tidak cukup kuat (misalnya anggukan sedikit, senyum kecil); dapat terlalu kuat (anggukan yang terlalu mantap atau senyum meringis yang terlalu lebar). Demikian juga oran yang terlalu membuat pengukuhan sosial akan membuat orang lain risau, dan pengukuh yang diberikan akan menjadi rendah nilainya.

f. Memberikan sampel pengukuh

Telah disebutkan bahwa pengukuh yang baru atau belum dikenal tidak efektif karena menimbulkan keraguan atau ketakutan. Karena itu kadang-kadang perlu diperkenalkan terlebih dahulu dengan memberikan sampel (diberi kesempatan untuk mencicipi). Bila subyek telah merasakan nikmatnya pengukuh, stimulus itu dapat mulai dicobakan sebagai pengukuh.

g. Menanggulangi Pengaruh Saingan

Manusia hidup dalam alam kompleks. Banyak pengukuh maupun hukuman yang menimpa perilaku-perilaku seseorang yang berupa reaksi-reaksi dari lingkungan maupun diri sendiri. Beberapa reaksi lebih kuat dari reaksi yang lain, beberapa saling bersaing sehingga menimbulkan konflik.

h. Mengatur Jadwal

Jadwal pemberian pengukuh ialah aturan yang dianut oleh pemberi pengukuh dalam menentukan di antara sekian kali suatu perilaku timbul. Kapan, atau yang mana yang akan mendapat pengukuh. Ada beberapa macam jadwal yang dibagi menjadi dua kelompok besar :

1. Jadwal pengukuh terus-menerus (continuous reinforcement schedule atau CRS)

Yaitu pengukuhan diberikan secara terus-menerus setiap kali perilaku sasaran timbul.

2. Jadwal Pengukuhan berselang atau jadwal pengukhan berselang (intermittent reinforcement schedule atau IRS atau partial schedule)

Yaitu pengukuh diberikan tidak terus-menerus setiap kali perilaku sasaran timbul. Jadi hanya sebagian saja yang mendapat pengukuh.

Efek kedua jadwal ini berbeda. Jadwal pengukuhan terus-menerus memperkuat perilaku dengan cepat, tetapi perilaku akan cepat pula terhapus bila pemberian pengukuh dihentikan. Jadwal pengukuhan berselang dapat dengan cepat atau lambat mengubah perilaku, tetapi jadwal pengukuhan berselang cenderung lebih dapat mempertahankan perilaku yang dikukuhkan.

i. Menanggulangi Kontrol Kontra

Kontrol kontra ialah kontrol atau pengaruh yang sadar atau tidak dilakukan oleh subjek terhadap orang yang member pengukuhan (atau hukuman). Kontrol kontra ini dapat dilakukan secara sadar oleh orang-orang yang memahami prinsip-prisip psikologi belajar, atau oleh orang-orang yang dari pengalaman merasakan bahwa ada cara untuk melakukan kontrol kontra.

3) Keunggulan Prosedur Pengukuhan Positif

Pengukuhan positif ini cara terbaik untuk memeperkuat kecenderungan perilaku seseorang. Prosedur ini akan lebih unggul lagi bila dirancang secara tuntas sehingga pengukuh yang digunakan dapat beralih ke pengukuh sosial yang kemudian dialihkan ke pengukuh intrinsik. Letak keunggulannya tidak hanya pada efektifitasnya tetapi juga pada efek sampingannya. Ubjek yang mendapat pengukuhan positif cenderung menggeneralisasikan kepada dirinya, sehingga merasa dirinya berharga. Hubungan antara penerima dan pemberi pengukuh pun menjadi baik, karena pemberian pengukuh diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan.

Karena keunggulan ini, prosedur pengukuhan positif ini adalah prosedur pilihan pertama. Bila tidak mungkin dilaksanakan atau bila menurut perhitungan tidak mungkin efektif maka baru digunakan prosedur lain. Prosedur apapun yang dipilih harus dibarengi dan dialihkan ke prosedur pengukuhan.

4) Efek Pengukuhan Positif Bagi Kelompok

Penyjian pengukuh bagi kelompok dapat menyebabkan respons sosial : para anggota kelompok saling memberikan semangat untuk mencapai persyaratan perilaku yang mendapat pengukuh, mereka saling membantu ( yang pandai menjadi tutor bagi yang kurang pandai), dan mereka mengatur kerjasama yang lebih baik/rapih. Sebaliknya, pengukuh positif bagi kelompok dapat menyebabkan para anggotanya terlelu menuntut mereka yang dirasa menghambat tercapainya sasaran.

B. Pengukuhan Negatif

1) Pengertian Pengukuhan Negatif

Maksud dari pengukuhan negatif ialah meningkatnya kemungkinan berulangnya kejadian perilaku disebabkan terhindarnya dari atau dihilangkannya sistem yang tidak menyenangkan sebagai konekuensi perilaku tersebut. Jadi, suatu perilaku mendapat pengukuhan negatif apabila perilaku itu meningkat atau terpelihara karena berasosiasi dengan hilangnya atau berkurangnya suatu stimulus.

Pengukuhan negatif ini adalah kejadian umum. Manusia belajar berbagai perilaku karena dalam pengalaman hidupnya perilaku-perilaku tersebut dikukuhkan oleh hilangnya atau berkurangnya stimuli aversif. Pengukuh negatif juga bermacam-macam bentuknya. Segala hal yang tidak menyenangkan secara potensial dapat menjadi pengukuh negatif.

2) Kelemahan Penggunaan Pengukuhan Negatif

1. Harus disajikannya stimulus aversif yang seringkali tidak menyenangkan bagi penyji sendiri.

2. Bila penyajian pengukuh positif berulangkali dapat menimbulkan kejenuhan atau kekenyangan, penyajian pengukuh negatif berulangkali dapat menghilangkan daya aversifnya.

3. Reaksi terhadap pengukuh negatif tidak selalu berupa perilaku sasaran. Berbagai alternatif perilaku dapat timbul sebab tujuannya ialah menghindari stimulus aversif yang mengenainya. Reaksi tersebut dapat berupa agresi atau emosi yang tidak konstruktif terhadap pemberi pengukuh maupun terhadap suasana dimana stimuli aversif disajikan.

4. Bila pengukuhan negatif dipakai di sekolah, maka pada anak akan tertanam asosiasi sekolah dengan hal-hal yang aversif. Pengukuhan negatif dapat membentuk hubungan antar penerima dengan pemberi, dan antara penerima dengan lingkungan menjadi jelek.

5. Usaha menghindari stimulus aversif dapat menimbulkan kecemasan yang bila keterlaluan dapat sampai ke penyimpangan perilaku yang lebih parah (seperti: neurosis, psikosomatis, dll).

3) Penerapan Efektif Pengukuhan Negatif

Tidak berbeda dengan penggunaan pengukuh positif, penggunaan pengukuh negatif juga banyak memerlukan pertimbangan, sebab adanya efek sampingan negatif seperti yang telah disebutkan. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan tidak berbeda dengan penggunaan pengukuh positif, seperti : pemilihan kuantitas dan kualitas pengukuh, tidak tertundanya penghilangan/pengurangan efek aversif segera setelah perilaku timbul, jadwal penyajian, dsb.

C. Metode untuk Meningkatkan Tingkah Laku

A. Shaping

a. Memilih sasaran perilaku.

b. Mendapatkan data yang dapat dipercaya.

c. Menguatkan perilaku yang mereka innginkan secara berturut-turut

d. Menguatkan perilaku yang baru saja terjadi

e. Menguatkan perilaku dengan menggunakan jadwal penguatan

B. Modelling

Menurut Bandura (1969), BAndura dan Walters (1963), dan Clarizio dan Yelon (1967) terdapat tiga efek modeling (memeragakan):

a. Akibat modeling atau penelitian belajar.

Anak-anak mungkin mendapatkan perilaku dari model yang sebelumnya tidak berperan baginya.. Pada situasi ini perilaku yang dilakukan anak-anak itu adalah menirukan peilaku model mereka.Efek yang Mencegah dan tidak mencegah.

Modeling tidak mengurung keeksklusifan mereka untuk belajar perilaku yang baru. Sama dengan efek diatas.

b. Menumbuhkan atau tanggapan fasilitas.

Pada situasi ini, perilaku model berguna untuk memfasilitasi kejadian yang telah dipelajari sebelumnya tetapi perilaku anak telah berhenti.

C. Contingency Contracting

Contingency Contracting dalam modifikasi perilaku telah didefinisi oleh Becker (1969) yakni mengondisikan agar anak tersebut memperoleh tingkat perkembangan dimana mereka akan melakukan pejanjian tanpa menunggu perintah dari guru..

Penggunaan Contingency Contracting sebagai teknik dalam modifikasi perilaku adalah prinsip dasar pengembangan oleh David Permack (1959) prinsip Permack berbunyi sebuah perilaku/kejadian yang bernilai tinggi dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku dengan kejadian lain yang bernilai rendah.

C. Token Economy

Token Economy dalam modifikasi perilaku yakni mengkondisikan anak agar berperilaku seperti yang diinginkan dengan cara memberikan bayaran berupa poin, tanda bintang, atau penghargaan lainnya. Bila seorang siswa memperoeh poin 50 maka ia berhak menukarkannya dengan hadiah atau reward.

Sistem ini bekerja sangat efektif di dalam kelas karena mengurangi tekanan dalam berkompetisi dengan siswa yang lain. Selain itu fakta membuktikan dengan sistem ini dapat memberi berbagai macam kegiatan yang tidak membosankan dengan adanya berbagai macam kegiatan yang disediakan.

BAB III

KESIMPULAN

Setelah membahas mengenai teknik pemberian pengukuhan baik positif maupun negatif yang merupakan teknik dari peningkatan dan pemeliharaan tingkah laku, dapat disimpulkan bahwa: suatu perilaku yang muncul akibat adanya stimulus/rangsang dan perilaku tersebut akan menimbulkan suatu konsekuensi tertentu. Setiap perilaku yang terjadi membutuhkan pengukuhan, baik pengukuhan negatif maupun positif.

Pengukuhan positif perlu diberikan untuk meningkatkan perilaku yang positif namun sebaliknya pengukuhan negatif juga perlu sebagai upaya menghilangkan perilaku yang negatif.

Dalam pemberian pengukuhan, baik positif maupun negatif perlu memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Menyajikan pengukuh seketika

b. Memlih pengukuh secara tepat

c. Memilih kuantitas pengukuh

d. Memberi sampel pengukuh

e. Menanggulangi pengaruh saingan

f. Menanggulangi kontrol kontra

DAFTAR PUSTAKA

Soekadji, Soetarlinah. 1983. Modifikasi Perilaku: Penerapan sehari-hari dan penerapan professional. Yogyakarta: liberty press

Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY press

Teori Motivasi  

Diposting oleh bkuny

moleh : Panggih Wahyu Nugroho


Bab I

PENDAHULUAN

A. Pengertian

Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik) (Akhmad Sudrajat). seluruh proses gerakan, termasuk situasi yang mednorong timbulnya kekuatan pada diri individu; sikap yang dipengaruhi untuk pencapaian suatu tujuan (Wulyo, 1990); suatu variabel yang ikut campur tangan yang digunakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku menuju satu sasaran (J.P. Chaplin, 2001).

Suatu kekuatan yang mendorong atau menarik yang tercermin dalam tingkah laku yang konsisiten menuju tujuan tertentu (Lusi, 1996). Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan hidup. Dengan kata lain motivasi adalah sebuah proses untuk tercapainya suatu tujuan. (Angelina Yuri Pujilistiyani.Ch)

Setiap orang pasti memiliki motivasi. Tingkatannya bisa berbeda-beda tergantung dari stimulus (rangsangan) yang diberikan otak. Selain berbeda tingkatannya, motivasi juga memiliki obyek (sasaran) yang berbeda. Belum tentu setiap orang memiliki sasaran motivasi yang sama dengan tingkatan yang sama pula.

B. Beberapa Teori tentang Motivasi :
1. Teori Kepuasan ( Content Theory)
- Teori Hirarki Kebutuhan Maslow (Maslow’s Hierarchy of Needs).

- Teori Mc Clelland
- Teori X dan Y (XY Theory)
- Teori ERG (ERG Theory)
- Teori Kebutuhan Mc. Clelland (Mc. Clelland Theory)
- Teori Motivasi-Higiene (Hygiene-Motivation Theory)

2. Teori Proses (Process Theory)
- Teori Harapan (Expectancy Theory)
- Teori Penentuan Tujuan (Goal Setting Theory)
- Teori Penguatan (Reinforcement Theory)
- Teori Keadilan (Equity Theory)

C. Urgensi Memotivasi Diri
1. Selalu Bersemangat
2. Tekun dalam Bekerja
3. Tidak Bergantung Motivasi dari Orang Lain
4. Selalu berinisiatif dan kreatif
5. Produksi dalam bekerja
6. Tercapainya tujuan yang diinginkan
7. Meraih tujuan lebih cepat
8. Optimis terhadap masa depan
9. Menikmati hidup dan pekerjaan
10. Terhindar dari kesepian
11. Terhindar dari rasa jenuh
12. Menunaikan kewajiban syar’i
13. Melaksanakan sunnah Rasul
14. Memperoleh sukses di dunia dan akhirat

D. Hambatan Memotivasi Diri
1. Kurangnya percaya diri
2. Cemas
3. Opini negatif
4. Perasaaan tidak ada masa depan
5. Merasa diri tidak penting
6. Tidak tahu apa yang terjadi
7. Pengakuan semu

Bab II

PEMBAHASAN

A. Theory Teori Achievement Mc Clelland ( Kebutuhan Berprestasi)

David McClelland, seorang pakar psikologi yang terkenal telah mempelajari hubungan antara kebutuhan dengan perilaku sejak tahun 1940an. Ia membagi kebutuhan menjadi tiga jenis, yaitu prestasi (achievement), kekuasaan (power), dan afilasi (affilation). Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.

Merupakan teori yang dikenalkan oleh David McClelland (1961). Dasar teorinya tetap berdasarkan teori kebutuhan Maslow, namun ia mencoba mengkristalisasinya menjadi tiga kebutuhan:

Penjelasannya adalah sebagai berikut:

· Need for achievement (kebutuhan akan prestasi)

· Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial/hampir sama dengan soscialneed-nya Maslow)

· Need for Power (dorongan untuk mengatakan sesuatu)

B. Hirarki Maslow

Hirarki kebutuhan menurut Maslow adalah sebagai berikut:

1. The need for self-actualization

2. The esteem needs

3. The love needs

4. The safety needs

5. The 'physiological' needs

Dia berargumen bahwa seseorang tidak akan mencapai tingkat kebutuhan yang lebih tinggi sebelum tercapai kebutuhan yang di bawahnya. Misalnya, seseorang akan sulit mendapatkan kebutuhan akan cinta kalau kebutuhan fisiologisnya belum tercapai. Begitu seterusnya hingga sampai kebutuhan aktualisasi diri. Namun dalam penelitian selanjutnya ternyata ada individu yang tidak begitu saja harus membutuhkan kebutuhan di bawahnya sebelum meraih kebutuhan yang di atasnya.

C. Teori Keadilan (Equity Theory)

Teori ini dibentuk oleh J. Stacey Adams. Teori ini menerangkan tentang pekerja membandingkan kerjanya iaitu nisbah input dengan hasil yang relevan dan akan memperbetulkan sebarang ketidakseimbangan. Sekiranya pekerja mendapati nisbah input dengan hasil adalah sama, maka keadilan wujud, iaitu situasi yang seimbang. Sebaliknya, sekiranya ketidakadilan wujud, maka individu akan merasakan bahawa dia diberi ganjaran yang terkurang atau diberi ganjaran yang terlebih. Terdapat beberapa tindakbalas yang akan tercetus dalam teori ini, iaitu:

a. Memutarbelitkan input atau hasil mereka ataupun hasil orang lain.

b. Bertingkahlaku merangsang orang lain untuk mengubah input atau hasil.

c. Bertingkahlaku tertentu untuk mengubah input atau hasil mereka sendiri.

d. Memilih individu lain untuk dibuat perbandingan.

e. Letak jawatan

Sekiranya individu mendapati bahawa ganjaran atau upah yang diterima oleh mereka tidak setimpal, maka mereka akan berkelakuan seperti berikut:

a. Bagi pembayaran yang diterima berdasarkan masa kerja, pekerja yang diberi ganjaran terkurang akan mengeluarkan hasil kerja lebih daripada pekerja yang menerima bayaran setimpal.

b. Bagi pembayaran yang diterima berdasarkan kuantiti pengeluaran, pekerja yang diberi ganjaran terkurang akan mengeluarkan hasil kerja lebih bekerja lebih daripada pekerja yang menerima bayaran setimpal.

c. Bagi pembayaran yang diterima berdasarkan masa kerja, pekerja yang diberi ganjaran terkurang akan bekerja lebih daripada pekerja yang menerima bayaran setimpal.

D. Teori Harapan (Expectancy Theory)

Teori yang menerangkan tentang kecenderungan individu untuk bertingkahlaku tertentu berdasarkan jangkannya bahawa tingkahlaku tersebut berdasarkan kepada hasil yang menarik hatinya.

Terdapat 3 pembolehubah atau bentuk hubungan yaitu:

a. Jangkaan (expectancy) atau hubungan usaha-pencapaian : kebarangkalian jangkaan individu bahawa usaha akan membuahkan tahap pencapaian tertentu.

b. Instrumen/ kaedah (instrumentality) atau hubungan ganjaran-pencapaian : darjah kepercayaan individu bahawa kerja yang dilakukan berdasarkan kaedah tertentu akan membawa kepada hasil yang diingini.

c. Kesatuan (valence) atau tarikan ganjaran : darjah kepentingan yang diletakkan oleh individu terhadap hasil atau ganjaran yang boleh diperolehi dalam kerja. Valence menitikberatkan matlamat dan keperluan individu.

Bab III

KESIMPULAN

Kami menyimpulkan bahwa cara memotivasi diri perlu berpijak dari asumsi berikut;
1. Teori-teori motivasi yang ada merupakan rujukan utama dari cara menumbuhkan motivasi diri yang praktis dan mudah dilakukan.

2. Manusia memiliki empat dimensi diri yaitu mental, emosional, spiritual, dan fisik. Semua dimensi tersebut memiliki hubungan satu sama lain dan saling mempengaruhi satu sama lain.

3. Berbagai cara menumbuhkan motivasi dari sebenarnya bersumber dari empet dimensi manusia.

Dengan menghidupkan satu atau lebih dimensi manusia tersebut kita dapat termotivasi.

4. Setiap dimensi manusia tersebut memiliki sumber pemicu untuk menumbuhkan motivasi diri.

Sumber pemicu itu adalah :

- Visualisasi (visualitation) untuk dimensi mental.

- Tanggung jawab (responsibility) untuk dimensi spiritual.

- Kenyamanan dan kesukaan (excited) untuk dimensi emosional.

- Gerakan (move) untuk dimensi fisik.

5. Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan memotivasi diri yang tidak terbatas. Semakin besar upaya kita untuk menyalakan sumber pemicu motivasi semakin besar mativasi yang dihasilkan.

6. Menumbuhkan motivasi diri sebenarnya banyak caranya.

Dibutuhkan kreativitas agar kita dapat memicu munculnya mativasi yang tinggi dalam diri kita. Namun kreativitas tersebut sebenarnya berputar pada menstimulus sumber pemicu motivasi yang ada pada empat dimensi manusia (yakni visualisasi, tanggung jawab, kenyamanan/kesukaan dan gerakan).






Materi APTL  

Diposting oleh bkuny

PENGURANGAN DAN PENGHAPUSAN PERILAKU

A. Latar Belakang

Perilaku manusia berasal dari faktor bawaan dan lingkungan (ajar atau dari proses belajar). Perilaku menusia sebagai hasil dari proses belajar mengandung pengertian juga bahwa perilaku tersebut dapat diubah atau dimodifikasi. Modifikasi perilaku meliputi berbagai perubahan, salah satunya adalah penghapusan atau pengurangan perilaku (extinction).

Kemampuan untuk menguasai prosedur-prosedur modifikasi perilaku sangat diperlukan oleh seseorang yang bergerak dalam bidang psikologi, yang dalam hal ini adalah mahasiswa Bimbingan dan Konseling. Dalam ranah kerja dan studinya kita akan sering berhadapan dengan orang-orang dan problema psikologis atau perilaku yang beragam, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, orang lain maupun dunia sekitarnya.

Dengan memahami salah satu bentuk modifikasi perilaku, yaitu penghapusan perilaku maka diharapkan mahasiswa Bimbingan dan Konseling dapat menerapkan prosedur-prosedur penghapusan perilaku secara efektif dalam prakteknya, yaitu dalam memilih prosedur yang tepat sesuai permasalahan yang dihadapi dan menggunakan prosedur tersebut dengan baik. Selain itu diharapkan pula agar mahasiswa Bimbingan dan Konseling dapat membedakan antara penghapusan perilaku dengan hukuman agar tidak terjadi kerancuan antara keduanya dan dapat menerapkan prosedur tersebut dengan tepat.

B. Tujuan Penulisan

1. Memenuhi tugas mata kuliah Analisis Pengubahan Tingkah Laku.

2. Mengetahui bagaimana hierarki prosedur alternatif untuk pengurangan tingkah laku.

3. Mengetahui berbagai pendekatan yang digunakan dalam strategi pengukuhan positif, penghapusan perilaku, perpindahan rangsangan, prosedur hukuman, dan kejenuhan.

4. Mengetahui perbedaan antara penghapusan perilaku dan hukuman.

5. Dapat menerapkan prosedur-prosedur untuk pengurangan tingkah laku dalam memodifikasi perilaku terutama untuk diri sendiri.

II. PEMBAHASAN

Hierarchy of procedural alternatives for behavior reduction atau hierarki prosedur alternatif untuk pengurangan tingkah laku:

Level I

Strategies of differential reinforcement atau strategi pengukuhan positif

1. Differential reinforcement of low rates of behavior (DRL)

2. Differential reinforcement of other behavior(s) (DRO)

3. Differential reinforcement of incompatible behavior (DRI)

4. Differential reinforcement of alternative behavior(s) (DRA)

Level II

Extinction (terminating reinforcement) atau penghapusan

Level III

Removal of desirable stimuli atau perpindahan rangsangan

1. Reponse-cost atau prosedur denda

2. Time-out procedures atau penyisihan sesaat

Level IV

Presentation of aversive stimuli atau stimulus aversif

1. Unconditioned aversive stimuli atau stimulus aversif tak bersyarat

2. Conditioned aversive stimuli atau stimulus aversif bersyarat

3. Overcorrction procedures atau peringatan akhir

Satiation (kejemuan/kejenuhan)

A. Level I: Strategies of Differential Reinforcement atau Strategi Pengukuhan Positif

Proses penambahan perilaku lebih mudah dilaksanakan, lebih konstruktif, dan lebih meningkatkan harga diri seseorang daripada proses pengurangan.

Cara positif untuk mengurangi perilaku ialah dengan menggunakan pengukuhan positif, ada empat cara yaitu :

1. Differential reinforcement of low rates (DRL)

Pengukuhan dilakukan bila perilaku sasaran muncul dengan jarang atau selama interval (jangka waktu ) tertentu subyek melakukan perilaku–sasaran tidak lebih dari frekuensi yang telah ditentukan.

1) Panduan untuk penggunaan DRL

a. Garis besarnya dari proses pengukuhan harus dicatat untuk menunjukkan rata-rata jumlah dari respon-respon pada seluruh sesi atau dalam jeda sesi pengukuhan.

b. Keputusan harus dibuat apakah perlu atau tidak memberi umpan balik kepada siswa berdasarkan jumlah keseluruhan respon selama sesi pengukuhan.

c.. Jangka waktu harus diperhatikan ketika menggunakan batasan pengurangan DRL untuk menghindari terlalu banyaknya penguatan dan rasio ketegangan.

2) Keunggulan

a. Memberikan toleransi.

Toleransi dapat dikurangi dengan menaikkan tenggang waktu atau menurunkan frekuensinya. DRL sangat berguna terutama untuk mengontrol perilaku anak-anak lemah mental yang sulit diajak komunikasi dan ingatannya sangat rendah.

b. Tidak menggunakan stimulus aversif.

3) Kelemahan

a. Proses belajar lambat

b. Perhatian terarah pada perilaku negatif

4) Agar DRL efektif :

a. Perlu disertakan program pengukuhan perilaku positif

b. Dapat dipercepat dengan mendenda bila melebihi batas frekuensi perilaku yang telah ditentukan.

2. Differential reinforcement of other behavior (DRO)

Pengukuhan dilakukan bila terjadi perilaku yang bukan perilaku sasaran yang akan dikurangi atau bila pada saat tertentu subyek tidak sedang melakukan perilaku sasaran.

1) Keunggulan

a. Pengurangan secara cepat frekuensi atau lamanya perilaku sasaran terjadi.

b. DRO dapat dilaksanakan gradual.

c. Jadwal pemberian pengukuhan dapat juga dibuat bervariasi, tidak pada jarak yang konstan.

d. Perhatian tidak tertuju pada perilaku negatif

2) Kelemahan

Adanya kemungkinan perilaku lain yang muncul (perilaku negatif), sehingga ada kecenderungan bahwa perilaku negatif tersebut ikut terkukuhkan. Untuk menghindarinya ditentukan terlebih dahulu bahwa perilaku lain harus berbentuk perilaku alternatif yang diinginkan modifikator.

3) Panduan menggunakan DRO:

a. Garis besar proses pengukuhan harus dicatat tidak hanya untuk mengukur ketidakcocokkan perilaku tetapi juga untuk menjadwalkan prosedur penggunaan DRO dengan tepat.

b. Kriteria mengenai jangka waktu, harus dibangun untuk menambahkan panjang interval DRO.

c. Kejadian yang mungkin dari tingkah laku yang tidak diinginkan memerlukan dua keputusan tambahan:

a) Apakah perlu mengatur kembali interval DRO untuk mengikuti respon yang terjadi atau menunggu jeda jadwal selanjutnya.

b) Apakah untuk menimbulkan respon yang terjadi dengan cara lain atau untuk mengabaikan respon tersebut.

d. Pengukuhan harus segera diberikan mengikuti tingkah laku yang tidak cocok, bahkan jika interval DRO telah habis waktunya tanpa target yang tercapai.

4) Pengaturan menggunakan perilaku alternatif dalam DRO :

a. Perilaku alternatif ini jangan sampai dapat berlangsung bersama-sama dengan perilaku sasaran.

b. Perilaku alternatif hendaknya sudah ada dalam perbendaharaan subyek. Penggunaan perilaku alternatif efek yang diperoleh lebih lambat tetapi perilaku yang diperoleh lebih terarah kemungkinan adanya efek diskriminatif.

3. Differential reinforcement of incompatible behavior (DRI)

Prosedur yang meliputi pengukuhan perilaku yang nampak yang bertentangan dengan perilaku yang ditargetkan untuk dikurangi.

Contoh:

Jika kita ingin mengurangi perilaku siswa yang tidak bisa duduk tenang, maka ketika siswa itu duduk tenang, perilaku ini perlu dikukuhkan.

Respon khusus dipilih, jadi respon yang sesuai membuat siswa secara fisik melawan perilaku yang tidak sesuai.

Panduan menggunakan DRI:

1) Perilaku yang bertentangan menuju perilaku yang tidak diinginkan harus dipilih. Jika tidak ada perilaku yang cocok melawan perilaku yang tidak diinginkan, kemudian perilaku yang menguntungkan bagi siswa harus dipilih dan dikuatkan.

2) Garis besar dalam proses pengukuhan harus dicatat untuk menentukan mengenai seberapa sering perilaku yang tidak cocok terjadi dan seberapa sering perilaku yang tidak diinginkan terjadi juga.

3) Jadwal pengukuhan harus ditetapkan.

4.. Differential reinforcement of alternative behavior(s) (DRA)

Pengukuhan bagi terjadinya tingkah laku yang menjadi alternatif bagi tingkah laku yang ditargetkan untuk dikurangi. Dalam proses ini, bagaimanapun juga perilaku alternatif dan perilaku tidak cocok tidak sama secara topografi.

Contoh:

Tiap waktu Ana memulai untuk mendapatkan perhatian dari gurunya, ia mengacungkan tangannya. Perilakunya dikukuhkan karena dipanggil oleh gurunya, kemudian Ana memperoleh pujian dari gurunya.

Kriteria yang harus diperhatikan dalam menggunakan DRA:

1) Efisiensi penempatan kembali pengukuhan dipertinggi jika tingkah laku sudah diseleksi. Jika murid-murid sudah tahu bagaimana menunjukkan perilakunya, dia tidak akan secara serempak terikat dalam mempelajari tingkah laku yang baru dan belajar untuk menempatkan kembali perilaku-perilaku yang tidak cocok.

2) Guru harus menganalisis tingkah laku yang tidak cocok untuk menentukan apakah tingkah laku ini relevan untuk siswa-siswanya.

3) Tingkah laku yang dipilih sebagai alternatif harus dapat menilai relevansi frekuensi penguatan.

B. Level II: Extinction (Terminating Reinforcement) atau Prosedur Penghapusan

1. Pengertian prosedur penghapusan

Prosedur penghapusan adalah prosedur menghentikan pemberian pengukuh pada perilaku yang semula dikukuhkan sampai ke tingkat sebelum perilaku tersebut dukukuhkan. Beberapa perilaku yang memerlukan prosedur penghapusan seperti tindakan mengacaukan kelas, tindakan agresif, amarah yang berlebihan, perilaku bukan belajar, dan membual.

Contoh:

Andi selalu melompat-lompat di atas tempat duduknya sambil berteriak-teriak ketika ia ingin menjawab pertanyaan dari gurunya. Hal itu ia lakukan supaya mendapatkan perhatian semua orang di kelas. Gurunya ingin merubah perilaku Andi dengan cara tidak member perhatian kepada Andi ketika ia bersikap berlebihan. Justru gurunya meminta Andi menjawab pertanyaan ketika ia sedang duduk diam. Perilaku rebut Andi tidak mendapat pengukuhan gurunya, sehingga diharapkan perilaku tersebut tidak berulang.

2. Sifat-sifat prosedur penghapusan

Diantaranya:

1) Jadwal pemberian pengukuhan

Jadwal pengukuhan terus-menerus lebih cepat proses hapusnya daripada jadwal berselang.

2) Banyaknya pengukuhan yang telah diterima

Makin banyak berulang pemberian pengukuhan pada masa lampau, makin resisten perilaku terhadap penghapusan. Demikian juga semakin besar kuantitas pengukuh yang telah dinikmati, makin resisten perilaku.

3) Deprivasi

Makin besar deprivasi subjek terhadap pengukuh dan makin vital pengukuhan yang dideprivasikan, makin sulit perilaku dihapus.

4) Usaha

Makin besar usaha yang dibutuhkan untuk melaksanakan perilaku yang mendapat pengukuhan, makin cepat penghapusan tercapai.

Selain sifat-sifat di atas, sifat lain yang perlu dipahami adalah adanya peristiwa kambuh (spontaneous recovery). Bila terjadi peristiwa kambuh dan pengukuh lama diberikan, maka perilaku akan terus berulang, bahkan makin sukar untuk dihapuskan (makin resisten). Ini seakan-akan meyakinkan bahwa apabila orang cukup gigih, tujuan akan tercapai jua.

Contoh:

Seorang siswa yang pernah dihukum oleh gurunya karena perilakunya (suka mengganggu teman wanita) dalam jangka waktu yang lama ia tidak pernah melakukannya lagi. Namun tiba-tiba, siswa tersebut melakukan perbuatan itu lagi, dengan tujuan untuk memperoleh perhatian teman-teman sekelasnya kembali.

Dalam prosedur penghapusan, perlakuan keras seperti kritik, koreksi, berteriak, bahkan tamparan dapat menjadi pengukuhan positif, padahal perlakuan tersebut seharusnya dapat mengurangi perilaku.

Contoh:

Seorang siswa yang hobi mencorat-coret tembok dipukul oleh gurunya. Peristiwa pemukulan tersebut tidak membuat siswa tersebut jera, tetapi justru perilakunya semakin menjadi-jadi.

3. Keunggulan prosedur penghapusan

Beberapa keunggulan prosedur ini adalah:

1) Prosedur ini dikombinasikan dengan prosedur lain telah terbukti efektif diterapkan dalam berbagai macam situasi.

2) Prosedur penghapusan menimbulkan efek yang tahan lama.

3) Prosedur penghapusan tidak menimbulkan efek sampingan senegatif prosedur-prosedur yang menggunakan stimuli aversif.

4. Kelemahan prosedur penghapusan

1) Efek tidak terjadi dengan segera

Efek penghapusan biasanya tidak seketika terjadi. Setelah konsekuensi yang mengukuhkan dihilangkan, perilaku-sasaran tetap berlangsung sampai waktu tertentu.

2) Frekuensi dan intensitas sementara meningkat

Pada saat-saat permulaan pengukuh tidak diberikan. Frekuensi dan intensitas perilaku sasaran cenderung bertambah. Oleh karena itu, memilih saat yang tepat menghentikan pemberian pengukuh sangat penting.

3) Perilaku-perilaku lain, termasuk perilaku agresif, sering timbul

Kenaikan dan frekuensi dan intensitas sementara diikuti oleh perilaku-perilaku lain sebagai usaha mendapat pengukuh, termasuk perilaku agresif. Perilaku agresif disebabkan oleh kekecewaan tidak diperolehnya pengukuh yang biasa diperoleh.

4) Imitasi perilaku oleh orang lain

Pada permulaan penghapusan, perilaku yang berulang-ulang timbul dan tidak mendapat perhatian yang berwenang, oleh orang lain yang melihatnya disangka mendapat persetujuan, akibatnya perilakunya cenderung ditiru.

5) Kesukaran menemukan pengukuh yang mengontrol

Kadang-kadang terlihat jelas pengukuh apa yang menimbulkan perilaku yang berulang. Kadang-kadang sulit sekali untuk menemukan, terutama bila pengukuhan terjadi pada jadwal yang sangat jarang. Begitu jarangnya konsekuensi pengukuh ditemukan, sampai seorang pengamat gagal mengendalikannya.

6) Kesukaran menghentikan pengukuhan

Kadang-kadang ditemukan pengukuh yang tidak mungkin dipisahkan dari perilaku sasaran, kerena sudah terpadu atau alamiah merupakan konsekuensi perilaku tersebut.

5. Penggunaan efektif prosedur panghapusan

Perlu adanya beberapa persiapan agar prosedur dapat diterapkan secara efektif, ialah:

1) Menemukan pengukuhan yang memelihara perilaku

Perlu ditemukan pengukuhan yang mengontrol perilaku sasaran dan kemudian mencegah terjadinya pengukuhan. Agar prosedur penghapusan efektif, semua sumber pengukuhan harus ditemukan dan dikendalikan. Makin sering pengukuhan inkonsisten ini terjadi, makin sulit dihapus perilaku ini.

2) Komunikasi jelas dan tegas

Beberapa perilaku tidak perlu sama sekali dihapus, tetapi perlu dikontrol agar tidak berlangsung pada saat-saat tertentu, atau hanya berlangsung pada saat-saat tertentu.

3) Menjalankan prosedur ini cukup lama

Peningkatan perilaku pada permulaan prosedur penghapusan diterapkan, sering membuat pengontrol pengukuh menyerah. Berkurangnya perilaku yang perlahan-lahan membuat orang tidak sadar atau prasangka bahwa program ini telah gagal.

4) Mengombinasikan dengan prosedur lain

Prosedur penghapusan lebih efektif bila dikombinasikan dengan prosedur lain. Efek ini mendukung tercapainya penghapusan karena subjek telah mendapatkan cukup pengukuh dengan cara baru.

C. Level III: Removal of desirable Stimuli atau Perpindahan Rangsangan

1. Reponse-cost atau prosedur denda

1) Pengertian prosedur Denda

Prosedur denda adalah prosedur penarikan kembali sejumlah pengukuhan yang telah diberikan untuk suatu perilaku sasaran. Prosedur denda digunakan untuk mengurangi tingkah laku setelah adanya pemindahan pengukuhan, yaitu penarikan diri khusus dari sejumlah kumpulan pengukuhan tingkah laku yang tidak cocok.

Prosedur denda biasa dilihat sebagai sistem tingkatan denda kejadian umum. Sistem mata uang termasuk prosedur denda.

Contoh: Guru mengatakan kepada siswa, mereka akan didenda uang untuk setiap sepuluh kali kesalahan mengoreksi mata pelajaran matematika mereka. Guru ini bekerja dengan prosedur denda.

2.. Time-out Procedures atau Penyisihan sesaat

Penyisihan sesaat (time-out) merupakan suatu prosedur yang memindahkan sumber pengukuhan untuk sementara waktu tertentu, bila perilaku sasaran yang akan dihilangkan timbul. Penyisihan waktu disajikan sebagai hukuman dari penyangkalan siswa, untuk memperbaiki periode dari waktu, yaitu kesempatan untuk mengembalikan pengukuhan.

Penyisihan sesaat adalah bentuk singkat istilah penyisihan sesaat dari penguatan positif. Sebelum menggunakan prosedur penyisihan sesaat, guru harus yakin akan akibat penguatan untuk tingkah laku yang cocok yang tersedia di dalam.

Prosedur ini mirip denda karena baik denda maupun penyisihan sesaat dikenakan bila perilaku sasaran muncul, dalam denda sejumlah pengukuh diminta kembali, sedangkan dalam penyisihan sesaat pengukuh ditiadakan untuk sementara waktu.

Metode prosedur penyisihan sesaat dikategorikan antara lain:

1) Prosedur penyisihan sesaat tanpa pengasingan (non seclusionary time-out procedures)

Di dalam prosedur penyisihan sesaat tanpa pengasingan, siswa tidak dipindahkan dari tempat belajar. Guru meniadakan akses siswa untuk terus menguatkan manipulasi sementara dari lingkungan. Guru banyak menggunakan prosedur ini umumnya saat dihadapkan dengan menyamaratakan kekacauan kecil.

Contoh:

Jika selama pelajaran, siswa mulai melakukan tindakan yang tidak sesuai (menyimpang), guru akan melakukan tindakan yang mencerminkan bahwa dia tidak menyukai perilaku siswa-siswanya, seperti memindahkan peralatannya atau meninggalkan kelas.

2) Prosedur penyisihan sesaat dengan pengeluaran (exclusionary time-out procedures)

Prosedur ini membutuhkan pemindahan siswa dari aktivitas dengan cara menyangkal akses untuk penguatan. Pemindahan siswa dari kelas tidak selalu dibutuhkan. Guru hanya merubah lingkungan siswa atau menghindarkan siswa dari kondisi semula yang membuat siswa tersebut melakukan perilaku menyimpang.

Contoh:

Dua siswa yang duduk berdampingan mengganggu aktivitas belajar dengan cara mengobrol pada saat guru mengajar. Guru tersebut melakukan prosedur penyisihan sesaat dengan cara memisahkan kedua siswa tersebut sehingga tidak ada akses penguatan perilaku mengobrol di kelas.

3) Prosedur penyisihan sesaat dengan pengasingan (seclusionary time-out procedures)

Di dalam beberapa kejadian, prosedur penyisihan sesaat diasosiasikan dengan menggunakan ruang penyisihan sesaat. Prosedur ini meliputi pemindahan siswa dari kelasnya ke ruang identifikasi unutk mengisolasi keseluruhan perilaku sosial, yaitu bagian di dalam tingkah laku menyimpang. Prosedur ini biasanya disediakan untuk tingkah laku seperti serangan psikis, serangan verbal dan perusakan sifat.

Ketidakberuntungan ruang penyisihan sesaat sudah disalahgunakan secara serius atau tidak diurus dalam banyak kejadian. Oleh karena itu, prosedur ini telah menjadi subjek pemberitaan negatif dan kejadian diserahkan dan diatur dalam pengadilan. Sekarang beberapa sekolah di negara atau daerah tertentu mempunyai prosedur pengaturan untuk menggunakan ruang penyisihan sesaat.

1) Cara pelaksanaan :

a. Subyek disisihkan dari lingkungan agar tidak mendapat kesempatan memperoleh pengukuh.

b. Lingkungan/acara/ benda yang memberi pengukuh disisihkan dari subyek untuk sementara waktu.

Penyisihan sesaat mirip hukuman, bila deprivasi lingkungan yang mengukuhkan ini dianggap sebagai stimulus aversif.

2) Penerapan Efektif Penyisihan Sesaat

a. Menghilangkan semua pengukuh pada saat dan tempat penyisihan.

b. Jangan kenakan penyisihan sesaat yang berarti terhindar dari stimuli aversif (berarti pengukuh negatif).

c. Jangan berikan kesempatan menstimuli diri selama penyisihan sesaat.

d. Perhitungan kemampuan pelaksanaannya.

e. Penggunaan penyisihan sesaat hendaknya konsisten.

f. Jangka waktu penyisihan hendaknya singkat.

g. Perlu dikomunikasikan dengan jelas, perilaku apa yang konsekuensinya penyisihan.

h. Sediakan jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan yang mendorong terjadinya perilaku sasaran.

3) Keungulan penyisihan sesaat

Kadang-kadang penyisihan sesaat berhasil meredakan perilaku-perilaku tertentu. Pengukuhan bersifat berselang artinya hanya berlaku kadang-kadang saja. Penggunaan penyisihan sesaat tanpa pertimbangan matang, cenderung merupakan usaha sia-sia.

4) Kelemahan Penyisihan Sesaat

a. Berasosiasi negatif

Mencabut sementara kenikmatan yang diperoleh dari lingkungan, atau dianggap sebagai situasi aversif. Efek yang timbul sama dengan yang menggunakan stimulus aversif. Efek samping dan kesulitan pelaksanaan tidak seimbang dengan hasilnya.

b. Sanksi hukuman

Tidak meninggalkan bekas luka fisik pada subyek yang terkena hukuman, sehingga tidak begitu terlihat. Namun bila akan diterapkan perlu mendapat persetujuan pihak lain.

Komunikasi yang kurang jelas dapat menimbulkan generalisasi. Penyisihan sesaat merupakan prosedur yang non konstruktif, digunakan bila cara-cara lain tidak mungkin dijalankan atau telah gagal.

Contoh:

Wati adalah anak yang pemalu, suka menyendiri, dan melamun. Gurunya ingin ia menjadi anak yang aktif dan mengikuti setiap aktivitas di kelas. Lalu gurunya menggunakan teknik penyisihan sesaat, misalnya ketika Wati melamun dalam sebuah diskusi, gurunya langsung menunjuk Wati untuk memberikan pendapatnya.

Sikap guru yang konsisten sangat dibutuhkan agar proses penyisihan sesaat berjalan..

Contoh:

Siswa SD laki-laki yang tidak suka dan tidak terbiasa memasukkan bajunya, bila tidak diberi peringatan secara terus menerus untuk memasukkan bajunya, maka kebiasaan siswa tersebut tidak akan berubah.

Siswa harus tahu sikap yang tidak diterima dikelasnya dan konsekuensi dari melakukan sikap itu, dan guru harus memberi tahu kepada siswa ketika hendak melakukan prosedur penyisihan sesaat. Siswa juga harus tahu kenapa mereka berada dalalm prosedur penyisihan sesaat.

Contoh:

Toni selalu berbicara di dalam kelas. Gurunya ingin mengurangi perilaku Toni tersebut dengan cara menarik Toni ke suatu tempat tertentu dan menyuruhnya diam selama beberapa saat. Kemudian ia mengamati Toni selama beberapa saat dan menyuruhnya kembali ke kursi. Setelah itu Toni akan tetap terus berbicara karena ia tidak tertarik pada peringatan gurunya dan teman-temannya suka memperhatikan Toni.

5) Syarat tempat untuk penyisihan sesaat sebaiknya adalah:

a. Jauh dari keramaian atau tenang

b. Jauh dari pintu atau jendela

c. Tidak ada orang atau teman lain yang melihat

d. Mudah dalam pengawasan

Lamanya penyisihan sesaat harus diatur sedemikian rupa sehingga siswa tidak meninggalkan sesi penyisihan terlalu lama karena akan menyebabkan ketidakefektifan proses penyisihan. Waktu yang diperlukan kira-kira empat sampai lima menit.

Setelah proses penyisihan guru atau pengawas membuat semacam catatan sebagai bahan evaluasi yang meliputi:

1) Waktu ketika siswa mulai ditempatkan di dalalm proses penyisihan sesaat

2) Waktu ketika siswa kembali ke aktivitas semula

3) Beberapa peristiwa selama proses penyisihan sesaat

4) Aktivitas yang dilakukan siswa sebelum memasuki sesi time-out

5) Aktivitas yang dilakukan kembali oleh siswa sesudah time-out

D. Level IV: Prosedur Hukuman

Dalam banyak budaya, disiplin berarti digunakannya hukuman, terutama hukuman fisik, untuk mengatur perilaku anggota masyarakat. Penggunaan hukuman dapat formal maupun informal. Formal bila dilakukan dalam bentuk hukum dan pengadilan, informal bila merupakan konsekuensi kehidupan sehari-hari dengan hukuman yang biasanya tidak tertulis.

Hukuman sering diberikan oleh orang dewasa yang marah kepada anak, atau hanya karena pelampiasan frustrasi. Alasannya bahwa tindakannya demi kebaikan anak dan demi kebaikan masyarakat. Hukuman sebagai salah satu yang mempengaruhi tingkah laku tetapi tidak memperlihatkan pada stimulus alami.

Penggunaan prosedur hukuman ini sering merupakan kontroversi. Diterapkan atau tidaknya hukuman dalam suatu program modifikasi perilaku, tergantung pada tujuan dan kondisi situasionalnya, termasuk pertimbangan-pertimbangan dari segi kepraktisan, hukum, mental, dan etika.

Contoh:

Jika ayah memukul anaknya yang melempar-lempar mainan kemudian anak akan berhenti melempar mainan. Jadi, dalam hal ini memukul disebut hukuman, namun jika anak melanjutkan melempar mainan pukulan tersebut tidak disebut hukuman.

1. Pengertian prosedur hukuman

Prosedur hukuman adalah suatu prosedur yang umumnya dicadangkan untuk perilaku-perilaku yang tidak adaptif, seperti perilaku destruktif terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan, dan perilaku negatif lain yang terus menerus menggangu fungsi adaptif seseorang.

Definisi hukuman menurut memodifikasi perilaku ialah suatu prosedur dimana pemberian stimulus yang mengikuti suatu perilaku mengurangi kemungkinan berulangnya perilaku terebut. Seperti pada prosedur pengukuhan, hukuman didefinisikan dari efek terhadap perilaku yang diikutinya.

2. Stimulus aversif

Stimulus yang tidak menyenangkan, berfungsi sebagai hukuman. Ada dua macam stimulus aversif, yaitu:

1) Unconditioned aversive stimuli atau stimulus aversif tidak bersyarat

Adalah stimuli yang aversif bukan karena hasil belajar. Beberapa stimuli yang dapat menimbulkan efek aversif seperti pukulan keras, kejutan listrik, tersengat benda panas, cahaya yang menyilaukan, suara yang terlalu keras, terlalu kenyang, terlalu dingin, dan sebagainya.

2) Conditioned aversive stimuli atau stimulus aversif bersyarat

Stimuli netral dapat berubah menjadi stimuli aversif. Penularan sifat aversif ini dapat terjadi karena stimulus aversif tak bersyaratnya sangat kuat, atau karena stimulus tak bersyarat lemah tetapi berpasangannya terjadi berulang- ulang.

Contoh :

a. Kata “ jangan” yang diteriakkan dengan tegas dan keras ketika anak akan menyentuh panci panas. Kata “jangan” merupakan stimulus aversif bersyarat.

b. Surat peringatan dekan yang berisi peringatan kuliah tinggal satu semester lagi. Surat peringatan dekan merupakan stimulus aversif karena terbukti beberapa mahasiswa benar–benar drop-out karena surat ini.

c. Mahasisiwa yang belum menyelesaikan tugas belum dapat diumumkan nilainya.

d. Gadis cantik yang suka membuat minder orang yang mengajaknya bicara.

Stimuli aversif bersyarat maupun tak bersyarat dapat berbentuk verbal maupun non verbal. Stimuli aversif bersyarat non verbal, misalnya: muka cemberut, dituding dengan telunjuk, diacungi kepalan tangan, diancam dengan clurit.

3) Overcorrction procedures atau Peringatan akhir

Prosedur hukuman cenderung efektif seketika, sehingga dikukuhkan dan berulang, bahkan sering terlalu banyak diterapkan. Efek samping negatif prosedur hukuman cenderung terbentuk lebih lambat dari pada efek positifnya. Karena pembentukan negatif ini tertunda, orang lalu tidak menghubungkannya dengan hukuman.

Pada penerapan prosedur hukuman, yang perlu dimonitor tidak hanya perilaku sasaran yang akan dikurangi atau dihilangkan, tetapi juga perilaku-perilaku sampingan yang timbul. Menghindarkan subjek atau menjaga jangan sampai subjek mendapat hukuman, yaitu dengan memberi peringatan dengan menyesuaikan tugas dengan kemampuan dan memberi jalan keluar yang wajar bagi kebutuhan-kebutuhan daripada menerapkan hukuman.

3. Keunggulan prosedur hukuman

1) Menghentikan dengan cepat

Contoh: dibentak dengan keras, ditampar atau dipukul sampai shock.

Penggunaan hukuman yang efektif dapat mengurangi perilaku secara drastis dan cepat, dan menghindari kembuhnya perilaku.

2) Memudahkan diskriminasi

Hukuman yang bersifat spesifik memudahkan subjek membedakan dalam situasi mana perilakunya harus dihilangkan. Karena manusia dapat diajak komunikasi, maka kekhususan situasi ini dapat dikomunikasikan pada subjek. Ini dapat mengurangi penderitaan karena hukuman.

Contoh: ditekankan bahwa meminjam mainan anak lain boleh asalkan memintanya dengan baik.

3) Merupakan pelajaran bagi orang lain

Diperolehnya hukuman atas suatu tindakan mengajarkan kepada orang lain untuk tidak melakukan tindakan itu.

Contoh: dalam pengumuman hasil ujian yang tertunda, disebutkan spesifikasinya mengapa nilai seseorang belum diumumkan.

4. Penerapan hukuman secara efektif

Beberapa faktor perlu diperhatikan agar penggunaan hukuman efektif. Hukuman hendaknya dilakukan secara sistematis, bukan sebagai pelampiasan emosi yang tidak bertujuan mendidik. Faktor yang perlu diperhatikan ialah:

1) Menghalangi lolos dari hukuman

Perilaku menghindarkan diri dari hukuman ini adalah prosedur pengukuhan negatif. Cara lain meloloskan diri dari hukuman ialah berbuat curang. Perilaku ini sangat sukar dihapus, sebab disamping mendapatkan pengukuhan negatif, juga mendapatkan pengukuhan positif yang melekat pada perilaku curang tersebut. Pengaturan lingkungan hendaknya juga dibuat sedemikian rupa sehingga tidak mengundang subjek melakukan perilaku curang ini.

2) Konsisten dan diberikan seketika

Hukuman paling efektif bila diberikan seketika setelah perilaku timbul atau seketika setelah pelanggaran terjadi. Manfaat lain pemberian hukuman seketika ialah subjek dapat membedakan pada situasi mana perilaku tertentu mendapatkan hukuman.

3) Penyajian dengan intensitas kuat

Intensitas hukuman perlu disesuaikan dengan seberapa jauh perilaku sasaran telah terbentuk. Untuk menghentikan kebiasaan yang telah menahun, hukuman harus lebih kuat dari pada untuk perilaku yang baru mulai terbentuk.

4) Kombinasi dengan prosedur lain

Prosedur hukuman dikombinasikan dengan prosedur penghapusan menghilangkan perilaku lebih cepat dari pada prosedur hukuman atau penghapuasan sendiri-sendiri. Prosedur kombinasi ini lebih cepat lagi bila sekaligus juga ada pengukuhan perilaku lain yang dapat menjadi sarana memperoleh pemenuhan kebutuhan semula.

5) Kombinasi dengan pengaturan lingkungan

Pengguanaan hukuman akan lebih efektif bila ada peringatan yang lebih jelas. Program modifikasi perilaku apapun akan lebih berhasil bila didukung oleh komunikasi yang jelas mengenai aturan-aturan dan rasionalnya, baik bagi subjek maupun bagi pengontrol konsekuensi.

5. Kelemahan penggunaan hukuman

Hukuman sudah jelas efektif untuk mengontrol perilaku. Namun demikian perlu diperhitungkan akibat-akibat buruknya.

1) Reaksi subjek dapat berbentuk mengundurkan diri

Seseorang yang mendapat hukuman lalu mengundurkan diri. Pengunduran diri dapat dalam berbagai bentuk, misal anak mogok, melarikan diri, dan lain-lain. Pengunduran diri dapat berbentuk psikis, misalnya melamun, memikirkan hal lain-lain, tertidur dan lain-lain.

2) Reaksi subjek dapat berbentuk agresi

Hukuman menimbulkan ketidaksenangan, karena itu sering menimbulkan keinginan untuk membalas. Pembalasan dapat terlaksana bila penghukum dalam posisi lemah. Bila penghukum posisinya kuat, pembelasan dapat berbentuk agresi verbal, ancaman, fitnah, dan lain-lain.

3) Reaksi subjek dapat tergeneralisasi

Hukuman dapat membuat jera perilaku-perilaku yang mirip bentuknya maupun mirip suasananya dengan perilaku yang mendapat hukuman, tetapi tidak seharusnya karena adanya generalisasi ini, prosedur hukuman hendaknya dilaksanakan secara sistematis, bukan diikuti emosi negatif.

4) Reaksi subjek dapat diskriminatif

Diskriminasi yang tidak diinginkan ialah bila subjek menganggap perilaku harus dilaksanakan hanya bila ada tukang penghukumnya. Untuk menghindari hal semacam ini aturan-aturan dan rasionalnya perlu dikomunikasikan dengan jelas.

5) Tindakan menghukum dijadikan contoh

Perilaku yang mendapatkan hukuman cenderung tidak dicontoh langsung oleh orang lain. Yang sering dicontoh ialah tindakan menghukum. Misalnya guru yang mencemooh murid untuk menghukumnya, dapat mengakibatkan murid-murid lain mencemoohkan terhukum tanpa perilaku yang dihukum.

6) Perilaku kehukum dijadikan contoh

Perilaku yang mendapatkan hukuman cenderung tidak ditiru oleh orang lain, tetapi tindakan yang dikenai hukuman cenderung dicontoh karena menjadi pusat perhatian. Perilaku yang semula tidak pernah mendapat perhatian, lalu menambah perbendaharaan perilaku. tidak jarang timbul wabah perilaku-perilaku tercela karena hal ini.

7) Reaksi subjek terhadap diri sendiri dan lingkungan dapat negatif

Orang yang berulang kali mendapat hukuman, merasa semua tindakannya salah karena itu adanya pengukuhan positif bagi seseorang sangat penting. Di samping mengurangi rasa minder, didapatnya pengukuhan positif akan mendidik seseorang untuk tidak memfokuskan perilaku negatif saja tetapi juga pada perilaku positif.

8) Reaksi lingkungan terhadap penghukum negatif

Orang-orang yang tidak terlibat, kadang-kadang kurang memahami dasar atau hukum yang digunakan pada program hukuman. Yang mereka lihat umumnya adalah akibat-akibat yang diperoleh terhukum. Mereka lalu menaruh simpati kepada terhukum dan tidak memberi dukungan terhadap pelaksanaannya.

E. Satiation (kejemuan/kejenuhan)

Kejemuan merupakan pengurangan atau penghilangan dari perilaku yang tidak dapat diterima sebagai hasil dan dilanjutkanya dan dikuatkannya perilaku. kejemuan biasanya tidak disadari, dan efeknya pada kepribadian kita, karena biasanya menunjukkan gejala-gejala yang umum atau biasa.

Kejemuan dapat digunakan sebagai sarana campur tangan dalam mengurangi perilaku misalnya, pada seorang siswa bernama Charles yang gemar mengambil kertas milik teman-temannya, kemudian gurunya mencoba menggunakan prosedur kejenuhan. Gurunya menempatkan satu rim kertas di mejanya tiap awal sekolah. Tiap selesai pelajaran gurunya memberi tiga lembar kertas pada Charles. Setiap empat menit, guru itu memberi Charles tiga lembar kertas, sampai beberapa kali. Akhirnya Charles bosan dan mengatakan tidak butuh kertas lagi. Prosedur tersebut berhasil.

Faktor sentral yang mempengaruhi kejenuhan sebagai suatu prosedur adalah jadwal pengukuhan. Jadwal pengukuhan bervariasi lebih resisten dari pada jadwal pengukuhan tetap. Kunci keberhasilan dari prosedur kejenuhan adalah jadwal pengukuhan yang tetap/konstan.

Prosedur kejenuhan dapat sangat berguna untuk menangani perilaku kelas yang kurang sesuai seperti:

1. Terus menerus meraut pensil hingga habis

2. Membuang-buang kertas

3. Minum terus dalam sesi belajar

4. Dll.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam memodifikasi perilaku terdapat hierarki prosedur alternatif yang terdiri dari empat level strategi yaitu pengukuhan positif , penghapusan perilaku, perpindahan rangsangan, dan stimulus aversif yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan serta cara dan pendekatan yang berbeda.

Strategi pengukuhan positif terdiri dari empat macam strategi yaitu DRL, DRO, DRI dan DRA. Kemudian perpindahan rangsangan terdiri dari prosedur denda dan penyisihan sesaat. Sedangkan stimulus aversif terdiri dari stimulus aversif tak bersyarat, stimulus aversif bersyarat dan peringatan akhir.

Prosedur penghapusan dalam pengertian dan prakteknya sering disalahartikan dengan hukuman. Apabila stimulus yang diberikan menimbulkan perilaku yang semula maka dalam hal ini disebut sebagai pengukuhan. Sedangkan disebut hukuman apabila stimulus yang diberikan dapat menghentikan berulangnya perilaku. Oleh karena itu, penghapusan perilaku dan hukuman adalah berbeda.

B. Saran

1. Dalam menggunakan salah satu strategi pengurangan atau penghapusan perilaku hendaknya memperhatikan individu yang akan dikurangi atau dihapus perilakunya.

2. Perilaku akan lebih cepat termodifikasi apabila pelaksanaan prosedur penghapusan dan prosedur hukuman dilaksanakan secara bersama-sama daripada prosedur penghapusan atau hukuman dilaksanakan sendiri-sendiri.

3. Perilaku yang termodifikasi akan berlangsung lama bahkan menetap apabila lingkungan di sekitar individu termodifikasi mendukung program modifikasi perilaku.

DAFTAR PUSTAKA

Soekadji, Soetarlina.. 1983. Modifikasi Perilaku: Penerapan Sehari-hari dan Penerapan Profesional. Liberty: Jogjakarta.