Indonesia Butuh Terapi Realitas
Oleh Limas Sutanto
TAHUN lalu, di tengah tebaran janji-janji memikat, rakyat mengganti pemimpin
puncak pemerintahan lewat pemilu. Peristiwa penting itu bisa disyukuri sebagai
bagian gerak maju demokratisasi Indonesia. Namun, salah satu kekuatan
impersonal terpenting yang menggerakkan pemenangan dalam pemilu tahun lalu
adalah deret pencitraan yang dihias janji-janji, yang intinya adalah perwujudan
keadilan dan kesejahteraan. Tak pelak, rakyat beramai-ramai menagih perwujudan
janji-janji itu.
Namun, yang terjadi justru perontokan ilusi-ilusi (disillusionment) karena
tebaran janji-janji tak kunjung terwujud. Yang terjadi justru kebijakan
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berdampak bagi warga miskin.
Demonstrasi antikenaikan harga BBM masih terus merebak, ditimpali warta krisis
pangan dan ancaman kelaparan di Lembata, Nusa Tenggara Timur (Kompas, 19-20/3).
Warta itu diperburuk kabar dari Garut bahwa keberlanjutan sekolah anak-anak
keluarga miskin terancam karena orangtua mereka tidak sanggup menyediakan biaya
transportasi, sementara dana kompensasi kenaikan harga BBM tidak kunjung turun
(Kompas, 21/3). Semua fakta ini menegaskan, bangsa Indonesia masih bergelut
dengan masalah fundamental yang berpusatkan pemenuhan kebutuhan kemanusiaan
mendasar.
Ironis. Pada saat bersamaan elite pemimpin Indonesia justru terus melawan gerak
maju menuju keadilan dan kesejahteraan nyata dan sejati. Gejala-gejalanya
adalah pemberantasan korupsi yang tersendat, bahkan akhir-akhir ini menunjukkan
gejala-gejala (symptoms) menggumpal lebih besar dan lebih nyata dalam
kolaborasi kekuasaan pemerintahan-kekuasaan politis-kekuasaan uang.
Konglomerasi (penggumpalan) ketiga kekuasaan itu terwujud dalam kolaborasi
pemerintah, elite partai politik (ulahnya terlihat jelas di DPR), dan elite
bisnis. Siapa pun bisa mengatakan, konglomerasi dan kolaborasi ketiga kekuatan
itu "sah saja". Namun, masalahnya adalah siapa bisa menjamin penggumpalan
ketiga kekuatan itu akan mengabdi buat kepentingan seluruh rakyat Indonesia?
Atau dengan kata lain, siapa bisa menjamin penggumpalan ketiga kekuatan itu
bukan merupakan gejala resistansi terhadap gerak maju hakiki menuju keadilan
dan kesejahteraan yang nyata dan sejati?
KETIGA gejala resistansi-ketersendatan pemberantasan korupsi, masih terus
berlangsungnya korupsi, penggumpalan kekuasaan pemerintahan-kekuasaan
politis-kekuasaan uang-sebenarnya berakar dalam psikopatologi (kesalahan jiwani
mendasar) yang terkait masalah pemenuhan aneka kebutuhan manusia. Psikopatologi
itu bisa dideskripsikan sebagai "pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia yang
berlangsung nonrealistik dan tanpa penunaian tanggung jawab".
Dalam perebakan psikopatologi itu, kebutuhan-kebutuhan manusia, seperti
kebutuhan akan kepemilikan bendawi, kebutuhan untuk meraih kekuasaan, dan
kebutuhan akan kesenangan, berperan sentral. Pada perspektif ini dapat dipahami
betapa akar psikopatologis dari penerusan korupsi, perlawanan terhadap
pemberantasan korupsi, dan penggumpalan kekuasaan pemerintahan-kekuasaan
politis-kekuasaan uang, adalah pemenuhan abeja kebutuhan manusia yang
berlangsung nonrealistik dan tanpa penunaian tanggung jawab.
Gagasan perbuatan dan perilaku manusia yang hakikatnya merupakan proses
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ditegaskan psikiater Amerika, William Glasser,
yang lebih dikenal sebagai pelopor terapi realitas (reality therapy). Glasser
memahami tiap gejala psikopatologis sebagai upaya manusia untuk memenuhi aneka
kebutuhannya secara nonrealistik dan tanpa penunaian tanggung jawab.
Persoalan pokok pada perspektif ini terkait dengan jalan atau cara yang
ditempuh manusia guna memenuhi aneka kebutuhan itu. Pemenuhan kebutuhan itu
akan melahirkan psikopatologi atau gejala-gejala psikopatologis jika ia
berlangsung secara nonrealistik dan tanpa penunaian tanggung jawab.
Terapi realitas dilaksanakan untuk membantu manusia kembali ke jalan pemenuhan
kebutuhan yang benar dan efektif, yaitu pemenuhan kebutuhan secara realistik
dengan penunaian tanggung jawab.
INDONESIA yang dilumuri gejala-gejala resistansi terhadap gerak menuju keadilan
dan kesejahteraan nyata dan sejati adalah Indonesia yang banyak dikerubungi
manusia yang terbiasa memenuhi aneka kebutuhannya secara nonrealistik dan tanpa
penunaian tanggung jawab. Pada titik ini dapat disadari betapa Indonesia butuh
terapi realitas, yang secara kontekstual bermakna perombakan cara atau jalan
yang ditempuh para pemimpin pemerintahan dan tiap insan Indonesia untuk
memenuhi aneka kebutuhannya, dari cara atau jalan yang nonrealistik dan tanpa
penunaian tanggung jawab, menjadi cara atau jalan yang realistik dengan
penunaian tanggung jawab.
TERAPI realitas bisa dijalankan dengan mengejawantahkan tiga hal. Pertama,
keputusan pribadi tiap pemimpin pemerintahan Indonesia untuk menerapkan
standar-standar kebaikan (patokan nilai-nilai) yang tinggi demi perawatan dan
penumbuhkembangan keberhargaan diri (self-worth) yang bermakna. Standar
kebaikan yang tinggi dan keberhargaan diri yang bermakna niscaya menjadi
komponen hakiki kepribadian setiap pemimpin pemerintahan Indonesia.
Dapat dirasakan betapa selama ini keberadaan kedua komponen hakiki itu
sedemikian lemah, bahkan mungkin standar kebaikan dan keberhargaan diri belum
menjadi komponen penting kepribadian insan-insan pemimpin pemerintahan
Indonesia.
Banyaknya pelanggaran hukum-moral-etika, pelanggaran berat hak asasi manusia,
serta pembiaran pelanggaran-pelanggaran itu, yang semuanya berlangsung seperti
tanpa rasa dosa, mengindikasikan standar kebaikan dan keberhargaan diri belum
menjadi komponen penting kepribadian insan-insan pemimpin pemerintahan
Indonesia.
Standar kebaikan yang tinggi dan keberhargaan diri juga menjamin evaluasi diri
yang terus-menerus di tengah kehidupan setiap pemimpin pemerintahan dari hari
ke hari. Tanpa standar kebaikan tinggi dan keberhargaan diri, evaluasi diri
tidak pernah berlangsung. Maka gerak maju tidak pernah terjadi dalam kerangka
kerja yang sadar.
Kedua, keterlibatan mendalam (deep involvement) tiap pemimpin pemerintahan
dengan kehidupan nyata seluruh rakyat Indonesia. Keterlibatan ini niscaya demi
pemahaman realitas kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Tanpa pemahaman utuh
realitas kehidupan seluruh rakyat Indonesia, pemimpin pemerintahan tidak pernah
bisa mengejawantahkan perbuatan dan perilaku kepemimpinan yang realistik dan
bertanggung jawab. Seandainya para pemimpin masa kini hidup di tengah
keterlibatan mendalam dengan kehidupan rakyat Indonesia, dapat dibayangkan para
pemimpin pemerintahan tidak akan menelorkan kebijakan menaikkan harga BBM saat
kehidupan rakyat masih sulit dan anggota DPR tidak akan meminta tambahan honor.
Ketiga, disiplin, yang makna sejatinya adalah keberanian, kerelaan, dan
kesudian manusia menerima realitas yang bersifat tidak menyenangkan, asalkan
realitas yang tidak menyenangkan itu terjadi karena dirinya mempertahankan
standar kebaikan yang tinggi dan keberhargaan diri yang bermakna. Berbekal
disiplin dalam makna itu, para pemimpin pemerintahan tidak akan menghalalkan
segala cara dalam upaya mewujudkan aneka keinginan atau sejumlah kebutuhan.
Berbekal disiplin dalam makna itu, pemimpin pemerintahan berani dan bisa
menindak tegas setiap pelaku tindakan yang salah, semisal pelaku korupsi,
kendati pelaku korupsi itu adalah kawan dekatnya, bahkan anggota keluarganya
sendiri.
Bagaimanapun pengejawantahan ketiga hal hakiki itu perlu dipelopori para
pemimpin pemerintahan. Kepeloporan mereka merupakan keniscayaan untuk
berlangsungnya terapi atas resistansi Indonesia terhadap gerak maju menuju
keadilan dan kesejahteraan nyata dan sejati. Terapi itu sudah menjadi
sedemikian niscaya karena rakyat yang telah banyak ditebari janji-janji
keadilan dan kesejahteraan telah memasuki tahapan kekecewaan yang nyata
(disillusionment).
Jika disillusionment tidak segera diterapi, rakyat akan menjadi apatis, lalu
pada saatnya menjadi hamparan insan yang sulit percaya. Di tengah
ketidakpercayaan, Indonesia akan terguncang bahkan mengalami regresi atau
kemunduran. Hal itu akan mengerikan sekali.
Limas Sutanto Psikiater, Kini Studi Pascasarjana Konseling, Bertempat Tinggal
di Malang